Cerita Rakyat :
Goa Mampu legenda terkutuk :
Jangan
pernah mengancungkan telunjukmu ke muka seseorang. Sebab kamu akan
mengalami nasib yang sama dengan penduduk sebuah desa purba dikaki
Gunung Mampu. Desa yang terletak di Kabupaten Bone, belahan timur
propinsi Sulawesi Selatan. Desa purba itu kini telah punah. Seluruh
penduduknya mati menggenaskan kena kutuk dewa. Bagaimana kisahnya ?
mari kita ikuti bersama :
Kokok
ayam jantan berkumandang. Pagi menjelang. Satu-persatu penduduk desa
purba keluar rumah menuju sawahnya masing-masing. Hawa dingin menusuk
tulang. Kicau burung bersahutan. Areal persawahan terhampar luas
dibawah bayang Gunung Mampu yang tinggi menjulang. Anak beranak
berjalan beriringan menyusur pematang. Dalam sekejap rumah-rumah di
desa purba menjadi senyap. Dimusim tanam padi seperti ini, orang malu
berdiam dirumah. Kecuali disebuah rumah panggung diujung jalan
desa tepat ditepi hutan.
Dengan malas,
Lapute beranjak dari pembaringannya. Ayah ibunya sudah berangkat
kesawah. Bahkan kini di desa tersebut, tinggal dia satu-satunya manusia
yang masih berada dirumahnya pagi itu.
Aaaaahhgggg…. ! Lapute menguap.
ia berjalan menuju perigi untuk mandi. Selanjutnya bersalin pakaian
dan berdandan. Rutinitas yang dilakoninya setiap hari. Lapute sadar
betul dengan anugerah kecantikan wajah dan kemolekan tubuh yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya. Maka dari itu, ia merasa wajib untuk
menjaganya. Tepatnya menonjolkan kelebihannya itu.
Lapute adalah kembang desa Purba. Ia ibarat tumbuhan yang hijau segar
daunnya, merah merona bunganya dan harumnya berhembus dibawa angin
kemana-mana. Lapute adalah gadis yang tengah berada dipuncak pesona.
Bibirnya bak gunung berkawah cekung. Lentik matanya seolah mampu
menahan sebatang lidi untuk tidak jatuh bila diletakkan diatasnya. Tapi
sayang, sayang seribu sayang. Seperti tipikal seluruh penduduk desa
purba pada umumnya, Lapute juga memiliki sifat deging. Egois dan
berkepala batu.
Bukan
rahasia lagi diseantero jazirah bugis kala itu. Penduduk desa purba
terkenal dengan tabiat kepala batunya. Jangan sekali-kali mengajak
mereka berdebat tentang sesuatu hal. Bila pun terpaksa, usahakan
menjaga jarak dari mereka paling kurang dua langkah kaki rusa yang
tengah dikejar macan.
Kawan, penduduk
desa Purba jika berdebat dengan orang lain begitu gemar mengancungkan
telunjuknya kepada lawan bicaranya. Telunjuk itu mengayun serupa kapak
membelah kayu ke jidat orang. Berkali-kali, tanpa henti. Maka pada
zaman itu, desa-desa lainnya segan menaruh persolan dengan penduduk
desa purba.
Matahari sudah
hampir sejajar dengan kepala. Lapute berhenti mematut-matut dirinya
didepan cermin. Sebentar lagi ibunya pulang untuk memasak, sebelum
kembali lagi kesawah membawa bekal makan siang untuk ayahnya. Lapute
tak mau ibunya menyaksikannya berlaku malas.
Ia
kemudian menggelar alat tenunnya. Bersiap menyelesaikan sehelai kain
yang cukup untuk dijadikan dua lembar sarung buat ibu bapaknya. Ia
telah berjanji kepada mereka akan menyelesaikan tenunan itu. Janji
sekaligus alasan yang membebaskannya dari keharusan bekerja disawah
seperti teman-teman gadisnya yang lain. Pekerjaan sawah membuat kulit
mereka gosong. Kuku-kuku berubah hitam dan rambut kering berantakan.
Lapute secara teliti mengukur waktu kerjanya, agar tenunannya selesai
bersamaan dengan berakhirnya musim tanam. Dengan begitu tak ada alasan
kedua orangtuanya untuk memaksa ia membantu mereka disawah.
Selain cantik, Lapute rupanya juga seorang gadis yang cerdik.
Rutinitas
Lapute itu tak berubah. Berlansung hari demi hari dimusim tanam itu.
Sama seperti hari ini. Matahari bersinar garang. Membuat hawa didalam
rumah berubah gerah. Lapute pun memindahkan alat tenunnya keteras
rumah. Dimana angin bertiup semilir menyejukkan. Hawa sejuk pelan-pelan
mengusap wajahnya. Kepala Lapute terantuk-antuk menahan kantuk. Tak
sadar ia tertidur. Didalam tidurnya tanpa sengaja ia menendang jatuh
alat tenunnya ketanah
Lapute terbangun dari tidurnya mendengar suara alat tenunnya menimpa tanah.
Aiiiiiihhhhh… keluhnya dalam hati.
Rasa
kantuk yang tersisa menahan niatnya untuk turun ketanah mengambil alat
tenunnya kembali. Dengan tetap berbaring seperti semula, Lapute
memilih untuk berteriak meminta bantuan orang lain. Siapa tahu ada
orang lewat yang mendengarnya.
“ Oeeeeeeee !!! tolong ambilkan alat tenunku dibawah rumah ! “ teriak Lapute
Lapute
mengulang sampai tiga kali teriakannya. Hatinya kesal karena tak
sebatang hidung pun terlihat datang untuk memenuhi permintaannya.
Dengan nada main-main ia pun mengulang teriakannya. Kali ini ia mencoba
menawarkan hadiah kepada orang yang bisa menolongnya. Ia sendiri tak
serius dengan janjinya itu. Namun apa salahnya dicoba ? Siapa tahu
berhasil ? Demikian pikir Lapute.
“
Oeeeeee ! yang menolongku mengambil alat tenun dibawah rumah akan
kuberi hadiah ! “ teriak Lapute. Tanpa pikir panjang akan akibat
perkataannya, ia melanjutkan sambil tersenyum jahil “ yang menolongku
akan kujadikan suamiku “
Terdengar
bunyi langkah kaki dari bawah kolong rumah. Lalu suara-suara yang
mengangkat perangkat alat tenun. Derik anak tangga berbunyi satu
persatu saat penolong itu melangkah naik keatas rumah.
Alangkah
terkejutnya Lapute melihat sosok yang menolongnya membawa alat tenun
keatas rumah. Muka lapute pias. Pucat serupa mayat. Sosok penolong itu
setinggi diri lapute. Sekujur badannya ditumbuhi bulu-bulu berwarna
coklat kemerahan. Panjang dan lebat. Tampak ekornya yang panjang
menjuntai menyentuh lantai rumah. Mukanya bukan muka manusia. Mukanya,
muka seekor kera.
Sang penolong itu
adalah seekor Kera besar yang menakutkan. Lapute sontak berdiri hendak
melarikan diri. Namun urung begitu mendengar sosok kera besar itu
menegurnya. Sungguh aneh. Kera itu mampu bercakap seperti manusia.
“
Hei. Kamu mau kemana ? bukankah kamu sudah berjanji akan memberi
hadiah bagi yang menolongmu membawa naik alat tenunmu ini “ ujar kera
besar itu mengingatkan
Lapute gugup. Perasaannya campur aduk. Takut, kecewa, heran.
“ Tatatata…tapi..kamu bububu..kan manusia “ ujar Lapute gugp sambiil mengancungkan telunjuknya kearah muka kera.
Wajah
kera berubah masam. “ Memang bukan. Tapi apakah kau ingat dengan
ucapan mu tadi. Kamu tidak mengatakan akan menikah dengan manusia yang
membawakan alat tenunmu. Tapi kamu mengatakan ‘ yang membawakan alat
tenunku’. Kamu jangan ingkar janji Lapute“
Badan
Lapute mengigil-gigil. Ia adalah kembang desa purba. Gadis tercantik
diantara yang cantik. Tamat sudah hidupnya membayangkan dirinya
bersuamikan seekor kera. Seekor kera tetaplah kera, walau bisa
berbicara seperti manusia.
Mengingat
posisinya yang rumit itu, Lapute mencoba menyelamatkan masa depannya.
Apa jadinya anak keturunannya kelak jika bapak mereka seekor kera.
Lapute memberanikan diri untuk membantah perkataan kera besar itu.
Sifat kepala batunya mencuat. Pendapat kera besar itu ditentangnya
habis-habisan.
“ Kamu pasti salah
mendengar perkataanku tadi. Jelas-jelas akau mengatakan ‘ barang siapa
manusia yang membawakan alat tenunku’. Jadi kamu tidak termasuk
didalamnya wahai kera jelek “ bantah Lapute. Tak lupa ia
mengancung-ancungkan jari telunjuknya kearah muka kera besar itu untuk
mempertegas ucapannya.
“ Kamu berbohong lapute ! “ kera itu bersikeras dengan keyakinannya.
“
Tidak ! kamu yang bohong. Kamu mencoba memanfaatkan situasi ini !
Dasar kera tidak tahu diri ! “ Lapute balik membantah dengan keras.
Tetap dengan jari telunjuk yang terancung kemuka kera.
Mereka berdua memegang pendapatnya masing-masing. Lapute tetap tak mau mengalah.
“ Aku lebih baik menjadi batu daripada harus bersuamikan dirimu wahai kera jelek ! “ kata Lapute akhirnya.
Tiba-tiba – seperti lazimnya sebelum sebuah peristiwa luar biasa terjadi-
petir menggelegar membelah angkasa. Kera besar itu berubah ke wujud
aslinya. Rupanya ia seorang dewa yang menyamar menjadi seekor kera.
Tubuhnya lalu terangkat, melayang tinggi ke udara. Sebelum menghilang,
dewa itu mengeluarkan suara keras yang menggema.
“
Hai Lapute ! karena kamu ingkar janji, maka kamu kukutuk menjadi batu
seperti keinginanmu ! Dan sejak hari ini, barang siapa penduduk desa
Purba yang mengancungkan telunjuknya kepada orang lain, maka orang yang
ditunjuknya itu akan berubah menjadi batu ! “
Dalam sekejap, Lapute pun berubah menjadi batu.
Matahari
kembali keperaduan. Penduduk desa menghentikan pekerjaannya disawah
dan kembali kerumah masing-masing. Sesampai diteras rumahnya, kedua
orang tua Lapute terkejut tidak kepalang. Anak kesayangan mereka
ditemukan dalam bentuk onggokan batu. Tangis mereka pecah. Lalu mereka
terlibat dalam pertengkaran hebat. Saling menyalahkan satu sama lain
sebagai penyebab kejadian mengerikan itu.
“ Ini salahmu ! “ maki bapak Lapute pada istrinya. “ Coba seandainya kamu pulang cepat kerumah tadi sore “
Istrinya tak mau kalah. Balas memaki suaminya “ Tidak ! ini salahmu. Kamu yang melarangku untuk pulang cepat “
Keduanya
berbalas maki sembari saling mengacungkan telunjuknya kemuka satu sama
lain. Serentak keduanya juga ikut berubah menjadi batu kena tulah
kutukan dewa.
Penduduk desa yang
sempat mendengar tangis dan pertengkaran kedua orang tua Lapute datang
berbondong-bondong menuju kerumah itu. mereka terpaku menyaksikan
pemandangan tiga sosok anak beranak yang telah berubah menjadi batu.
Penduduk desa ramai memperdebatkan kejadian aneh itu. Masing-masing
bersikukuh dengan dugaannya. Pertengkaran sesama penduduk desa jadi tak
terelakkan. Seperti kebiasaan mereka setiap kali bertengkar, tak lupa
sambil mengacungkan telunjuk kemuka lawan debatnya. Dalam tempo singkat
semuanya ikut kena kutukan dewa. Seisi desa berubah menjadi batu tanpa
kecuali.
Beberapa waktu
kemudian desa tanpa penghuni itu terkena bencana tertimbun longsoran
dari gunung Mampu. Tepat dibawah longsoran itu kemudian mengalir sungai
bawah tanah berkelok-kelok melintasi tempat dimana desa itu (dulu)
berada. Air sungai itu beratus tahun selanjutnya menyusut kering. Dan
terowongan bekas alirannya berubah menjadi gua dengan banyak ornamen
batu yang menyerupai arca manusia dalam beragam bentuk. Orang-orang di
zaman modern ini menamainya Gua Mampu.
(Dongeng rakyat Sulawesi Selatan)
Beberapa photo goa mampu dari berbagai sumber :
Para pengunjung,tidak bisa langsung begitu saja memasuki gua. Mereka harus melengkapi dirinya dengan alat penerangan. Sejumlah bocah kecil dengan obor bambu di tangan, telah siap mengantar pengunjung menelusuri gua.
Bocah-bocah ini selain menyewakan obor bambunya,
juga mampu menjadi pemandu gua yang baik. Mereka paham cerita seputar
gua,lengkap dengan bumbu-bumbunya.
Hari Minggu, dan hari besar keagamaan, menjadi
hari-hari yang ditunggu anak-anak ini. Pada saat-saat itu pengunjungnya
membludak, yang artinya mendatangkan rezeki lebih banyak buat mereka.
Selama 2 jam mendampingi pengunjung gua, biasanya anak-anak kecil
seperti Budi ini, mendapat tips lima ribu rupiah.
Sayangnya, obor bambu yang banyak dipakai ini, asapnya menyisakan arang hitam yang menempel di atap dan dinding gua. Sehingga kesan kotor, sulit dihindari.
Namun meski demikian, kawanan kalelawar yang
bersarang di gua ini, masih setia mendiami Gua Mampu. Bahkan
kehadirannya yang telah puluhan tahun ini, mewarnai Gua Mampu.
Kesakralan Gua Mampu, masih terjaga hingga kini. Tinggal bagaimana masyarakat sekitar gua, menjaga cerita legenda yang menghiasi gua ini.